Sejarah Hari Santri Nasional

Sejarah Hari Santri Nasional

Hari Santri Nasional diperingati di Indonesia setiap tanggal 22 Oktober setiap tahunnya. Peringatan Hari Santri Nasional sesuai dengan Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2015 tentang Hari Santri. Tujuan peringatan Hari Santri Nasional adalah untuk memperingati peran santri dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Hari Santri Nasional pertama kali oleh kalangan pesantren untuk mengenang jasa para kaum santri bagi kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Dengan digelarnya Hari Santri Nasional, seluruh masyarakat Indonesia diharapkan mampu mengingat, meneladani serta melanjutkan peran para ulama dan santri dalam mempertahankan NKRI. Di zaman yang penuh tantangan seperti sekarang, jihad tidak lagi memiliki arti pertempuran secara fisik, tapi perjuangan intelektual dan sosial. Peringatan Hari Santri Nasional biasanya dilakukan di berbagai daerah dengan kegiatan zikir, shalawat, munajat, doa bersama, serta kegiatan lainnya.

Sejarah Hari Santri Nasional 2024

Menurut buku Detik-Detik Penetapan Hari Santri (2021) karya Zayadi dan Suwendi, penetapan Hari Santri Nasional pada 22 Oktober merujuk pada kondisi dan latar belakang historis dari peran santri dan ulama di Indonesia dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan dari tangan penjajah.

Pada mulanya, seorang ulama bernama Hadratussyeikh Hasyim Asy’ari atau KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa yang dikenal sebagai “Resolusi Jihad” pada 22 Oktober 1945. Fatwa ini menetapkan kewajiban bagi setiap umat Islam, baik laki-laki maupun perempuan, untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari serangan penjajah.

Melalui Resolusi Jihad, ulama dan santri dari berbagai pesantren bersatu untuk melawan kolonialisme. Salah satu bentuk perjuangan mereka adalah terbentuknya laskar atau pasukan pembela tanah air. Contohnya, Laskar Hizbullah yang mempertahankan wilayah Indonesia dari serangan Sekutu pada tahun 1945.

Sejarah mencatat bahwa peran pesantren sebenarnya telah dimulai sejak era pra-revolusi, yakni ketika banyak dari kiai yang memimpin pergerakan dan peperangan melawan penjajah, seperti Kiai Mojo dalam Perang Diponegoro hingga Kiai Abbas dalam Perang 10 November.

Kelompok santri juga berperan dalam menolak sila pertama pada piagam Jakarta yang menyatakan “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya,” demi menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Setelah reformasi, para santri juga turut menolak berbagai upaya yang dilakukan kelompok tertentu untuk mengubah negara Indonesia menjadi negara Islam.

Atas berbagai peran santri tersebut, akhirnya melalui Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015 tentang Hari Santri, Pemerintah Indonesia menetapkan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional. Tanggal ini mengacu pada seruan “Reformasi Jihad” yang menjadi tonggak perjuangan para santri dalam mempertahankan kemerdekaan.

Mengapa Hari Santri Nasional Penting?

Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2015 tentang Hari Santri, setidaknya terdapat tiga alasan utama mengapa Hari Santri dijadikan sebagai Hari Nasional, di antaranya :

1. Pertama, diperlukannya rekognisi pemerintah atas peran para ulama dan santri pondok pesantren dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.

2. Kedua, pentingnya bagi generasi saat ini dan generasi mendatang untuk mengenang, meneladani dan melanjutkan peran ulama dan santri dalam membela dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

3. Ketiga, mengenang resolusi jihad yang dikumandangkan pada 22 Oktober 1945 sebagai tonggak perjuangan pergerakan kelompok Islam dalam mempertahankan kemerdekaan.

Pengertian Santri

Santri secara umum adalah sebutan bagi seseorang yang mengikuti pendidikan agama islam di pesantren. Santri biasanya menetap di tempat tersebut hingga pendidikannya selesai. Biasanya, santri setelah menyelesaikan masa belajarnya di pesantren, mereka akan mengabdi ke pesantren dengan menjadi pengurus.

Menurut bahasa, istilah santri berasal dari bahasa Sanskerta, “shastri” yang memiliki akar kata yang sama dengan kata sastra yang berarti kitab suci, agama dan pengetahuan. Ada pula yang mengatakan berasal dari kata cantrik yang berarti para pembantu begawan atau resi. Seorang cantrik diberi upah berupa ilmu pengetahuan oleh begawan atau resi tersebut. Tidak jauh beda dengan seorang santri yang mengabdi di pesantren, sebagai konsekuensinya ketua pondok pesantren memberikan tunjangan kepada santri tersebut.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan santri sebagai orang yang mendalami agama Islam. Santri dimengerti sebagai orang yang beribadah dengan sungguh-sungguh atau orang saleh. Sejumlah karakter disematkan pada diri seorang santri, antara lain :

1. Teosentrik, yakni sebuah nilai yang didasarkan pada pandangan bahwa suatu kejadian berasal, berproses, dan kembali kepada kebenaran Allah SWT.

2. Sukarela, yakni yang tercermin dari kepasrahan seorang santri dalam belajar di pondok pesantren.

3. Kearifan, yakni bersikap sabar, rendah hati, patuh pada ketentuan hukum agama, mampu mencapai tujuan tanpa merugikan orang lain, dan mendatangkan manfaat bagi kepentingan bersama. Termasuk juga dalam menghormati perbedaan dan keberagaman.

4. Kesederhanaan dan Kemandirian, ini juga karakter khas dari seorang santri yang tidak tinggi hati dan sombong walaupun berasal dari orang kaya atau keturunan bangsawan. Pesantren yang serba terbatas dari fasilitas, berperan membentuk karakter kesederhanaan dan kemandirian ini.

WhatsApp WA Sekarang
Pesan Sekarang