Bolehkah Seseorang Berkurban dengan Binatang Sedang Hamil?

Bolehkah Seseorang Berkurban dengan Binatang Sedang Hamil?

Kurban merupakan salah satu ibadah sunnah sangat dianjurkan dalam Islam (sunnah muakkad). Kurban biasa dilakukan oleh umat Islam yang mampu satu kali dalam setiap tahunnya, tepatnya pada hari raya Idul Adha. Karenanya, tidak heran jika sebagian besar umat Islam cukup familiar dengan istilah yang satu ini.

Adanya anjuran berkurban dalam Islam merupakan bentuk syukur kepada Allah swt atas segala nikmat yang telah diberikan. Itulah sebabnya, daging hasil kurban harus dibagikan kepada orang lain sebagai bentuk saling berbagi dan membantu antara satu dengan yang lainnya. Anjuran-anjuran kurban sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an dan hadits nabi, di antaranya yaitu:

إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ (1) فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ (2)

Artinya, “Sungguh, Kami telah memberimu (Muhammad) nikmat yang banyak. Maka laksanakanlah shalat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah).” (QS Al-Kautsar [108]: 1-2).

مَنْ وَجَدَ سَعَةً فَلَمْ يُضَحِّ فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا

Artinya, “Siapa saja yang mempunyai kemampuan tetapi ia tidak berkurban, maka janganlah ia mendekati (menghampiri) tempat shalat kami.” (HR Ahmad dan Ibn Majah).

Syarat-syarat hewan kurban

Anjuran kurban sebagaimana dalil-dalil yang telah disebutkan memiliki kriteria dan syarat-syarat khusus yang harus terpenuhi. Artinya, hewan yang sah untuk dijadikan kurban memiliki beberapa ketentuan tersendiri. Tidak semua hewan bisa memenuhi syarat dan kriteria tersebut. Di antara syaratnya adalah kurban harus berupa hewan ternak, seperti unta, sapi, dan kambing.

Syarat lain di antaranya adalah usianya sudah mencapai umur yang telah ditentukan dalam syariat, yaitu: (1) Unta minimal berumur 5 tahun dan telah masuk 6 tahun; (2) Sapi minimal berumur 2 tahun dan telah masuk tahun ke-3; dan (3) kambing harus berumur 1 tahun dan telah memasuki tahun ke-2

Selain itu, syarat yang lain juga tidak boleh berupa hewan yang cacat seperti hewan yang matanya jelas-jelas buta, fisiknya dalam keadaan sakit, kakinya pincang, serta badannya kurus dan tidak berlemak. (Syekh Taqiyuddin ad-Dimisyqi, Kifayatul Akhyar fi Hilli Ghayatil Ikhtishar, [Darul Khair: 1994], juz 1, halaman 528).

Itulah sebagian dari beberapa syarat hewan kurban yang harus terpenuhi. Jika tidak, maka kurbannya tidak sah. Lantas, bagaimana jika berkurban dengan hewan yang sedang hamil? Apakah termasuk dari bagian hewan yang cacat, sehingga tidak sah hukumnya. Atau justru tidak termasuk dari bagian tersebut sehingga hukumnya sah? Mari kita bahas. Baca Juga Jasa Paket Aqiqah di Tangerang Seletan – Hubungi Kami Slamet Aqiqah 081-878-9119

Cukup Qurban Atas Nama Kepala Keluarga, Tak Perlu Digilir Istri Hingga Anak

Berkurban dengan hewan yang hamil

Berkurban dengan hewan yang hamil pada prinsipnya tidak diperbolehkan menurut mayoritas ulama Mazhab Syafi’iyah. Karena hamil pada dasarnya bisa memberikan pengaruh yang sangat signifikan pada hewan, yaitu sangat kurus ketika sudah melahirkan, bahkan daging janin yang ada dalam kandungan tidak bisa menjadi penambal kekurangan daging hewan yang hamil. Hewan kurban yang hamil sama halnya dengan hewan pincang yang gemuk, sekalipun memiliki daging yang sangat banyak, namun tidak bisa menutup kekurangan pincang yang diderita hewan.

Pendapat ini sebagaimana ditegaskan oleh Sayyid Sa’id Muhammad Ba’asyin al-Hadrami dalam salah satu karyanya, yaitu:

وَلَا يَجُوْزُ التُّضْحِيَّةُ بِحَامِلٍ عَلىَ الْمُعْتَمَدِ؛ لِأَنَّ الْحَمْلَ يُنْقِصُ لَحْمَهَا، وَزِيَادَةُ اللَّحْمِ بِالْجَنِيْنِ لَا يَجْبُرُ عَيْباً كَعَرْجَاءَ سَمِيْنَةٍ

Artinya, “Tidak boleh berkurban dengan hewan yang hamil menurut pendapat yang mu’tamad, karena kehamilan hewan bisa mengurangi dagingnya, sedangkan bertambahnya daging disebabkan janin tidak dapat menutup kekurangan, seperti binatang pincang yang gemuk.” (Sayyid Sa’id, Syarh Muqaddimah al-Hadramiyah al-Musamma Busyral Karim bi Syarhi Masailit Ta’lim, [Darul Minhaj: 2004], halaman 698).

Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Sykeh Sulaiman al-Bujairami dalam salah satu karyanya, ia mengatakan bahwa hewan yang hamil tidak sah untuk dijadikan kurban, karena dengan kehamilan bisa mengurangi dagingnya,

وَالْحَامِلُ فَلَا تُجْزِئُ وَهُوَ الْمُعْتَمَدُ لِأَنَّ الْحَمْلَ يُنْقِصُ لَحْمَهَا وَإِنَّمَا عَدُّوهَا كَامِلَةً فِي الزَّكَاةِ ، لِأَنَّ الْقَصْدَ فِيهَا النَّسْلُ دُونَ طِيبِ اللَّحْمِ

Artinya, “Hewan hamil tidak cukup (tidak sah dijadikan kurban), dan ini menurut pendapat yang mu’tamad, karena hamil bisa mengurangi dagingnya. Dan sesungguhnya para ulama menilai sempurna (hewan hamil) dalam bab zakat, karena tujuan di dalamnya adalah keturunan bukan daging yang enak.” (Syekh al-Bujairami, Hasiyah al-Bujairami ‘alal Khatib, [Beirut, Darul Minhaj: tt], juz XIII, halaman 232).

Selain dua pendapat ini, Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam karyanya yang berjudul Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, (Maktabah at-Tijariyah al-Kubra: tt), juz 8, halaman 81, juga mengatakan tidak sah. Syekh Sulaiman al-Jamal dalam kitab Hasiyatul Jamal ‘ala Syarhil Minhaj (Beirut, Darul Fikr: tt), juz V, halaman 254, juga mengatakan tidak sah, serta semua mayoritas ulama mazhab Syafi’iyah lainnya. Karena hewan hamil tidak sah dijadikan kurban, jika sudah terlanjur untuk berkurban dengannya, maka hukumnya tetap halal yang penting memenuhi syarat-syarat penyembelihan.

Hanya saja daging yang dibagikan tidak berstatus kurban, namun berstatus sedekah biasa dan tetap mendapatkan pahala sedekah. Kendati demikian, terdapat ulama yang menilai dan berpendapat bahwa hewan hamil yang dijadikan kurban hukumnya tetap sah. Pendapat ini sebagaimana disahihkan oleh Imam Ibnu Rif’ah, sebagaimana yang dikutip oleh Syekh Zakaria al-Anshari dalam salah satu karyanya, ia mengatakan:

وَفِي الْمَجْمُوْعِ عَنِ الْاَصْحَابِ مِنْعُ التُّضْحِيَّةِ بِالْحَامِلِ، وَصَحَّحَ اِبْنُ الرِّفْعَةِ الْاِجْزَاءَ

Artinya, “Dan dalam kitab Majmu’ Syarhil Muhadzab dari pengikut mazhab Syafi’iyah, melarang kurban dari hewan yang hamil, dan Imam Ibnu Rif’ah mensahihkan bahwa kurban hewan hamil dianggap cukup (sah).” (Syekh Zakaria, Fathul Wahab bi Syarhi Minhajit Thullab, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah: 1418], juz II, halaman 328).

Kendati pendapat yang sahih menurut Imam Ibnu ar-Rif’ah itu boleh, hanya saja pendapat ini ditolak oleh mayoritas ulama mazhab Syafi’iyah, dengan argumen bahwa janin terkadang belum bisa sampai pada batas waktu yang bisa dimakan. Sehingga janin yang ada dalam perut hewan kurban tidak memiliki nilai apa-apa dan tidak bisa menutupi kekurangan hewan kurban yang hamil. (Syekh Khatib asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifati Ma;ani Alfazhil Minhaj, [Beirut, Darul Fikr: tt], juz VI, halaman 128).

Dari beberapa penjelasan ini, dapat disimpulkan bahwa berkurban dengan hewan yang hamil hukumnya tidak sah, karena status kehamilan hewan bisa mengurangi dagingnya, dan janin yang ada di dalamnya tidak bisa menutupi kekurangan tersebut. Namun demikian, Imam Ibnu ar-Rif’ah mensahihkan bahwa kurban dari hewan yang hamil hukumnya sah, hanya saja pendapat ini ditolak oleh mayoritas ulama. Wallahu a’lam.

Hewan yang tidak sah dijadikan kurban dijelaskan dalam nash hadits Nabi sebagai berikut:

  أَرْبَعٌ لَا تُجْزِئُ فِي الْأَضَاحِيِّ الْعَوْرَاءُ الْبَيِّنُ عَوَرُهَا وَالْمَرِيضَةُ الْبَيِّنُ مَرَضُهَا وَالْعَرْجَاءُ الْبَيِّنُ عَرَجُهَا وَالْعَجْفَاءُ الَّتِي لَا تُنْقِي

Artinya: “Empat hewan yang tidak mencukupi dalam kurban adalah (1) hewan yang buta sebelah dan jelas kebutaannya, (2) yang sakit parah, (3) yang pincang parah dan (4) yang sangat kurus hingga tidak punya tulang sumsum,” (HR al-Tirmidzi, Sahih).

Ulama memberi alasan mengapa empat binatang yang disebutkan dalam hadits tidak mencukupi, bahwa cacat yang dimiliki binatang-binatang tersebut dapat mempengaruhi daging, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Sehingga mengecualikan binatang yang memiliki cacat ringan dari empat cacat yang disebutkan, semisal sakit ringan atau pincang yang tidak parah.

Syekh Zakariyya al-Anshari berkata:

(فَصْلٌ) فِي صِفَةِ الْأُضْحِيَّةِ (وَلَا تُجْزِئُ مَا بِهَا مَرَضٌ) بَيِّنٌ بِحَيْثُ (يُوجِبُ الْهُزَالَ أَوْ عَرَجٌ بَيِّنٌ) بِحَيْثُ تَسْبِقُهَا الْمَاشِيَةُ إلَى الْكَلَأِ الطَّيِّبِ وَتَتَخَلَّفُ عَنْ الْقَطِيعِ بِخِلَافِ الْيَسِيرِ مِنْ ذَلِكَ لِمَا رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَصَحَّحَهُ أَرْبَعٌ لَا تُجْزِئُ فِي الْأَضَاحِيِّ: الْعَوْرَاءُ الْبَيِّنُ عَوَرُهَا وَالْمَرِيضَةُ الْبَيِّنُ مَرَضُهَا وَالْعَرْجَاءُ الْبَيِّنُ عَرَجُهَا وَالْعَجْفَاءُ الَّتِي لَا تُنْقِي مَأْخُوذَةٌ مِنْ النِّقْيِ بِكَسْرِ النُّونِ وَإِسْكَانِ الْقَافِ، وَهُوَ الْمُخُّ أَيْ لَا مُخَّ لَهَا؛ وَلِأَنَّ الْبَيِّنَ مِنْ ذَلِكَ يُؤَثِّرُ فِي اللَّحْمِ بِخِلَافِ الْيَسِيرِ

Artinya ; “Fasal tentang kriteria binatang kurban. Dan tidak mencukupi hewan yang sakit parah yang menyebabkan kurus atau pincang yang mencolok sekiranya didahului binatang lain menuju rumput yang lezat dan tertinggal jauh untuk menyusulnya, berbeda dengan sakit atau pincang yang sedikit. Hal ini karena hadits yang diriwayatkan Imam al-Tirmidzi dan beliau mensahihkannya; Empat hewan yang tidak mencukupi dalam kurban adalah (1) hewan yang buta sebelah dan jelas kebutaannya, (2) yang sakit parah, (3) yang pincang parah dan (4) yang sangat kurus hingga tidak punya tulang sumsum;. Redaksi la tunqi diambil dari akar kata al-Niqyu dengan kasrahnya nun dan sukunnya qaf, yaitu tulang sumsum, maksudnya binatang yang tidak ada sumsumnya. Dan karena cacat yang mencolok dari hal tersebut berpengaruh dalam daging, berbeda dengan yang sedikit,” (Syekh Zakariyya al-Anshari, Asna al-Mathalib, juz 1, hal. 535).

Secara prinsip, bagian hewan kurban yang paling dicari orang adalah dagingnya, sehingga setiap cacat yang dapat mengurangi kuantitas atau kualitas daging, maka semakna dengan empat binatang yang tidak sah dibuat kurban sebagaimana nash hadits di atas. Disamakan dengan daging, bagian hewan lainnya yang dikonsumsi seperti bagian pantat dan telinga. Karena itu binatang yang terpotong telinganya tidak mencukupi, demikian pula hewan gila, sebab dapat mengakibatkan kurus, demikian pula tidak sah hewan yang mengalami penyakit kudis, karena dapat merusak kualitas daging. Berbeda halnya dengan hewan yang hilang tanduknya, maka tetap sah dibuat kurban, karena tidak berhubungan dengan cacat yang mempengaruhi daging.

Berdasarkan prinsip di atas, mayoritas fuqaha Syafi’iyyah menyatakan berkurban dengan hewan yang hamil hukumnya tidak sah, sebab kehamilan yang dialami hewan dapat membuatnya kurus sehingga memiliki pengaruh yang signifikan dalam kuantitas daging. Pendapat mayoritas ini juga menilai janin yang ada dalam kandungan tidak dapat menambal kekurangan daging hewan hamil. Menurut Jumhur Syafi’iiyyah hewan hamil cenderung sama dengan hewan pincang yang gemuk, meski dagingnya banyak, namun tidak dapat menambal sisi minusnya pincang yang diderita hewan.

Karena tidak sah dibuat kurban, apabila sudah terlanjur disembelih, tetap halal asalkan memenuhi syarat-syarat menyembelih, tapi daging yang dibagikan berstatus sedekah biasa dan tetap mendapat pahala sedekah.  Baca Juga Paket Aqiqah Laki laki dan Paket Aqiqah Perempuan

Pendapat berbeda disampaikan oleh Imam Ibnu Rif’ah. Beliau mengatakan berkurban dengan hewan hamil hukumnya sah. Menurut beliau, meski dagingnya berkurang, namun ditambal dengan janin di dalamnya. Salah satu pembesar ulama mazhab Syafi’i itu menganalogikan hewan hamil dengan hewan yang terpotong kulit kelenjar testisnya, meski terdapat cacat dalam kuantitas daging, namun ditambal dengan kualitas kelezatan daging yang bertambah baik.

Syekh Sa’id bin Muhammad Ba’asyin berkata:

  وَلَا يَجُوْزُ التَّضْحِيَةُ بِحَامِلٍ عَلَى الْمُعْتَمَدِ؛ لِأَنَّ الْحَمْلَ يَنْقُصُ لَحْمُهَا، وَزِيَادَةُ اللَّحْمِ بِالْجَنِيْنِ لَا يَجْبُرُ عَيْباً كَعَرْجَاءَ سَمِيْنَةٍ

Artinya ; “Tidak boleh berkurban dengan binatang hamil menurut pendapat al-Mu’tamad (yang kuat), karena kehamilan binatang mengurangi dagingnya, sementara bertambahnya daging disebabkan janin tidak dapat menambal kecacatan seperti binatang pincang yang gemuk,” (Syekh Sa’id bin Muhammad Ba’asyin, Busyra al-Karim, hal. 698).

  تَنْبِيْهٌ أَفْهَمَ كَلَامُهُ عَدَمَ إِجْزَاءِ التَّضْحِيَةِ بِالْحَامِلِ؛ لِأَنَّ الْحَمْلَ يُهَزِّلُهَا وَهُوَ الْأَصَحُّ كَمَا نَقَلَهُ الْمُصَنِّفُ فِي مَجْمُوْعِهِ عَنِ الْأَصْحَابِ. قَالَ الأَذْرَعِيُّ وَبِهِ جَزَمَ الشَّيْخُ أَبُوْ حَامِدٍ وَأَتْبَاعُهُ وَغَيْرُهُمْ، وَفِي بُيُوْعِ الرَّوْضَةِ وَصَدَاقِهَا مَا يُوَافِقُهُ،

Artinya ; “Peringatan, ucapan al-Nawawi memberi pemahaman tidak mencukupinya berkurban dengan binatang hamil, karena kehamilan membuatnya kurus. Ini adalah pendapat al-Ashah (yang kuat) seperti yang dikutip sang pengarang dalam kitab al-Majmu’ dari Ashab. Al-Imam al-Adzra’i berkata; ini adalah pendapat yang mantap dipakai Syekh Abu Hamid, para pengikutnya dan ulama-ulama lain. Dalam bab jual beli dan maskawin di kitab al-Raudlah terdapat keterangan senada”.

Syekh Khatib al-Syarbini menegaskan:

  وَقَوْلُ ابْنِ الرِّفْعَةِ الْمَشْهُوْرُ أَنَّهَا تُجْزِئُ؛ لِأَنَّ مَا حَصَلَ بِهَا مِنْ نَقْصِ اللَّحْمِ يَنْجَبِرُ بِالْجَنِيْنِ، فَهُوَ كَالْخَصِيِّ، مَرْدُوْدٌ بِأَنَّ الْجَنِيْنَ قَدْ لَا يَبْلُغُ حَدَّ الْأَكْلِ كَالْمُضْغَةِ، وَلِأَنَّ زِيَادَةَ اللَّحْمِ لَا تَجْبُرُ عَيْبًا بِدَلِيلِ الْعَرْجَاءِ السَّمِيْنَةِ.

Artinya ; “Adapun pendapat Imam Ibnu Rif’ah; pendapat yang masyhur bahwa binatang hamil mencukupi karena kekurangan dagingnya ditambal dengan janin, sehingga seperti binatang yang terpotong kulit telur testisnya; ditolak dengan argumen bahwa janin terkadang tidak sampai batas dimakan seperti gumpalan daging, dan karena bertambahnya daging tidak dapat menambal kecacacatan dengan dalil binatang pincang yang gemuk,” (Syekh Khatib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, juz 6, hal. 128).

Status Sembelihan Janin Dengan disembelihnya hewan hamil, menjadikan janin dihukumi suci dan halal, tanpa perlu disembelih lagi. Sebab sembelihan janin diikutkan dengan sembelihan induknya. Ketentuan ini berlaku apabila keluarnya janin dalam keadaan mati atau kritis seperti layaknya binatang yang bergerak-gerak pasca disembelih. Bila ia masih hidup dalam keadaan normal, maka harus disembelih sendiri, tidak cukup dengan sembelihan induknya.

Syekh Zakariyya al-Anshari berkata:

فَصْلٌ وَذَكَاةُ الْجَنِينِ ذَكَاةُ أُمِّهِ) كَمَا رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَهُ وَابْنُ حِبَّانَ وَصَحَّحَهُ أَيْ ذَكَاتُهَا الَّتِي أَحَلَّتْهَا أَحَلَّتْهُ تَبَعًا لَهَا؛ وَلِأَنَّهُ جُزْءٌ مِنْ أَجْزَائِهَا وَذَكَاتُهَا ذَكَاةٌ لِجَمِيعِ أَجْزَائِهَا؛ وَلِأَنَّهُ لَوْ لَمْ يَحِلَّ بِذَكَاةِ أُمِّهِ لَحَرُمَ ذَكَاتُهَا مَعَ ظُهُورِ الْحَمْلِ كَمَا لَا تُقْتَلُ الْحَامِلُ قَوَدًا هَذَا (إنْ خَرَجَ مَيِّتًا) سَوَاءٌ أَشْعَرَ أَمْ لَا (أَوْ) خَرَجَ حَيًّا (فِي الْحَالِ وَبِهِ حَرَكَةُ مَذْبُوحٍ) بِخِلَافِ مَا إذَا خَرَجَ وَبِهِ حَيَاةٌ مُسْتَقِرَّةٌ فَلَا يَحِلُّ بِذَكَاةِ أُمِّهِ

Artinya; “Fasal, sembelihan janin adalah sembelihan induknya, seperti dijelaskan hadits yang diriwayatkan al-Imam al-Turmudzi dan dinyatakan hasan olehnya, riwayat Ibnu Hibban dan disahihkannya. Maksudnya sembelihan yang menghalalkan induknya juga menghalalkan janin karena hukumnya diikutkan, dan karena janin merupakan satu dari beberapa bagian induknya, menyembelihnya berarti juga menyembelih seluruh bagian-bagiannya. Dan karena bila janin tidak halal dengan sembelihan induknya, maka pasti haram menyembelihnya besertaan tampaknya kehamilan sebagaimana orang hamil tidak boleh dibunuh dalam rangka hukuman qisas. Ketentuan ini bila janin keluar dalam keadaan mati, baik terasa atau tidak, atau keluar dalam keadaan hidup saat itu juga dan mengalami pergerakan sebagaimana bergeraknya hewan yang disembelih. Berbeda halnya bila janin keluar dan ditemukan kehidupan yang normal, maka ia tidak halal dengan sembelihan induknya”. (Syekh Zakariyya al-Anshari, Asna al-Mathalib, juz 1, hal. 568).

Simpulannya, berkurban dengan hewan hamil merupakan persoalan yang diperselisihkan ulama. Dua pendapat di atas sama-sama boleh dipakai. Oleh sebab itu, praktik kurban dengan binatang hamil yang terjadi di sebagian masyarakat kita hendaknya tidak perlu diingkari.

6 Sebab Hewan Kurban Tidak Sah
Bagi umat Islam yang akan melaksanakan ibadah kurban, hendaknya memperhatikan syarat sah hewan yang digunakan untuk kurban. Jika tidak, maka kurbannya tentu tidak sah.  Ada enam hal yang menyebabkan hewan tidak sah disembelih untuk kurban.

Enam sebab tersebut, pertama, hewan yang buta salah satu matanya. Kedua, hewan yang pincang salah satu kakinya, walaupun pincangnya itu terjadi ketika akan disembelih, yaitu ketika dirubuhkan dan ia bergerak dengan sangat kuat.

Adapun penyebab yang ketiga, adalah hewan yang sakit, seperti sakit yang tampak jelas yang menyebabkan kurus dan dagingnya rusak. Keempat, hewan yang sangat kurus hingga menyebabkan hilang akalnya. Kelima, hewan yang terputus sebagian atau seluruh telinganya. Keenam, hewan yang terputus sebagian atau seluruh ekornya. “Sedangkan hewan yang pecah atau patah tanduknya itu sah digunakan berkurban, begitu pula hewan yang tidak memiliki tanduk,”

Di samping itu, orang yang akan melaksanakan ibadah sunnah muakkad ini, penting juga memperhatikan usia hewan kurban. Karena dalam hal kurban, syariat telah memberikan ketentuan-ketentuan dengan cukup detail.

Bila hewan yang dipilih adalah domba (dlo’nu), maka harus sudah berumur satu tahun sempurna dan memasuki tahun yang kedua. Sementara kalau jenis kambing kacang/jenis kecil (ma’zu), harus berumur dua tahun sempurna dan memasuki tahun yang ketiga. Adapun sapi, harus sudah berumur dua tahun sempurna dan memasuki tahun yang ketiga.

Sedangkan jenis unta harus mencapai usia lima tahun atau lebih. Berkurban dengan seekor kambing atau domba diperuntukkan untuk satu orang, sedangkan unta, sapi, dan kerbau diperuntukkan untuk berkurban tujuh orang. Satu orang yang berkurban dengan satu ekor kambing hukumnya lebih utama dibanding orang yang berlurban dengan seekor unta atau sapi yang digunakan berkurban secara musyarakah (persekutuan) untuk tujuh orang. Kami Juga Menyediakan Jasa Paket Aqiqah di Jakarta Selatan, Bagi Anda Yang Ingin Aqiqah Bisa Hubungi Kami Slamet Aqiqah 081-878-9119 

WhatsApp WA Sekarang
Pesan Sekarang